Saya Cuma Murid Percobaan

boy looking on a tidied desk 2781814

Akhir-akhir ini, linimasa dibeberapa sosial media diisi oleh protes beberapa orangtua dan sebagian murid yang memprotes sistem zonasi sekolah negeri yang ditetapkan pemerintah melalui Permendikbud nomor 14 tahun 2018. Hal ini menutup kemungkinan calon murid untuk masuk ke sekolah unggulan negeri. Karena peraturan ini berdasarkan jarak sekolah dengan tempat tinggal.

Jadi ingat waktu masih SMP dulu. Tiap hari naik angkot berjarak hampir 10 kilometer tiap hari untuk bisa ke sekolah. Walaupun saya di sekolah Islam swasta, tapi SMP negeri unggulan kebetulan dekat dengan SMP saya. Dan kawan-kawan SD saya dulu banyak juga yang sekolah di SMP unggulan itu yang jarak rumahnya bahkan lebih jauh.

Ok, itu SMP. Saat hendak masuk SMA, waktu itu lagi boomingnya novel Negeri 5 Menara. Sebuah novel yang menceritakan kehidupan seorang santri di pesantren Gontor Ponorogo nun jauh dari kampungnya di Maninjau Sumatera Barat. Gimana nggak tertarik, pas saya SMP kebetulan saya, dan kawan-kawan serta guru-guru saya mengundang penulis novel ini ke sekolah dalam acara talkshow milad sekolah. Apalagi novel ini dijadikan film layar lebar. Makin besar tekad saya buat jauh-jauh pergi dari rumah. Haha…

Kalau di novel, orang tuanya yang memaksa Alif untuk mondok di Gontor, saya kebalikannya. Saya yang minta nyantri di Jawa. Akhirnya saya mulai cari brosur-brosur pesantren terpadu. Mulai yang di Anyer, Bogor, Kuningan, Lembang dan Subang. Saya pilih yang di Subang. Bukan apa-apa, biayanya lebih murah dan masuknya lebih mudah dulunya. Karena orientasi saya harus nyantri dan jauh dari rumah.

Singkat cerita, saya lulus dan mulai masuk ke pesantren di pedalaman Subang ini. Anak-anaknya memang dari penjuru. Tapi tampaknya kami bukan murid-murid pilihan. Yang daftar pun juga sesuai kuota. Kasarnya mah, kalo daftar dijamin lulus juga. Dan satu lagi yang saya lupa perhatikan. Saya adalah murid angkatan 2. Jadi ini pesantren masih baru. Gedungnya juga baru. Bau catnya masih ingat saya, Catylax mereknya. Hehe…, Jadi, ini pesantren baru. Akreditasi waktu itu belum ada. Guru-gurunya muda-muda. “Kira-kira apakah saya bisa kayak Alif di novel itu ya?” Batin saya.

Kehidupan pesantren saya jalani. Saya masih dengan ekspektasi yang tinggi dari pesantren ini. Tapi saya harus sadar, ini pesantren baru yang belum punya jejak apalagi alumni. Maka di akhir semester 1 saya gamang dan bilang ke ibu saya untuk pindah dari Subang. Saya takut nggak bisa kuliah di PTN, nggak bisa jadi apa-apa.

Akhirnya ibu bawa saya menghadap kepala SMA negeri Unggulan di Bengkulu. Kebetulan ibu juga guru SMP negeri unggulan saingan SMP saya. Hehe… Saat betemu kepala sekolah, ibu sampaikan maksud tujuan kami. Saya pun juga sampaikan keinginan saya, intinya untuk pindah ke SMA ini. Apalagi saya juga ketua OSIS di SMP saya dulu, dan alumni SMP saya banyak diterima di SMA ini ditambah lagi berprestasi. Setidaknya itu jaminan dari saya bahwa saya layak di SMA ini. Kepala sekolah menyambut dengan baik. Tapi syaratnya di semester depan dan dengan tes khusus sesuai standar sekolah. Apalagi SMA ini banyak meluluskan siswa ke PTN terbaik di Indonesia. Ok, saya tenang bakal keluar juga dari penjara suci itu.

Saat kembali, saya sampaikan itikad saya pada guru di pesantren. Mereka tampak kaget dengan keputusan saya. Dan ibu saya malah sudah konsultasi lebih dulu ke guru BK. Intinya supaya saya bisa bertahan di Subang. Dan itu pinta ibu saya. Walau ibu saya guru sekolah negeri, tapi sangat peka soal pendidikan agama. Dan saya tersentak dengan nasihat ustadz besar di pesantren, bahwa di mana pun kita berada, maka di situlah kita semestinya berjuang. Kalau belum baik lingkungan kita, harusnya kita jadi pelopor kebaikan di sana juga. Jleb. Saya terlalu banyak menuntut dan terlalu tinggi dengan ekspektasi. Sulit sekali menerima realita.

Dengan nasihat itu, saya sangat gamang untuk pindah. Akhirnya istikharah dan nasihat keluarga saya seharusnya bertahan, karena saya yang memulainya. Dan ini kesempatan saya menjadi pelopor di tengah kekurangan. Dan saya pun tetal bertahan. Saat jadi ketua OSIS di pesantren, Konsolidasi dengan teman yang punya keresahan yang sama kami lakukan. Saran-saran kepada pesantren kami sampaikan. Mulai dari guru sampai kepala sekolah. Pesantren menyambut dengan baik. Dan kami sama-sama berikhtiar. Kami sering ikut perlombaan dan juara, sedang pesantren berjuang meraih akreditasi di tahun itu.
Puluhan prestasi kami raih dalam waktu singkat. Mulai tingkat kabupaten sampai nasional. Ini tidak lepas dari sinergi antara pesantren dan murid-muridnya yang saling menyokong. Walaupun sering juga kurikulum berganti-ganti karena kami juga murid percobaan. Hehe…, tak apa. Yang penting generasi selanjutnya lebih baik dari kami sebagai angkatan awal.
Akreditasi A diraih dan prestasi mulai terlihat. Pesantren kami jadi perhitungan diantara sekolah-sekolah di Subang dan Jawa Barat. Alhamdulillah. Namun buat saya dan kawan-kawan di tahun akhir adalah soal kegamangan untuk masuk perguruan tinggi. Apakah kami bisa masuk PTN keren? Saya sempat pesimis lolos dengan SNMPTN undangan waktu itu Apalagi angkatan 1 putri waktu itu cuma 1 orang yang lolos SNMPTN. Di tambah nilai saya yang tidak suistain, dan pilihan saya terlalu tinggi. Akhirnya saya tidak lolos SNMPTN. Alhamdulillahnya, belasan kawan saya lolos di PTN dan PT terbaik. Karena pilihan saya harus PTN. Sudah cukup pendidikan sekolah swasta selama ini. Tentunya melihat kondisi orang tua.
Dan saya pun ambil kesempatan SBMPTN dan lolos di Ilmu Politik FISIP Unpad. Sebagai murid percobaan, saya rasa ini perjuangan yang sangat berat. Saat pulang ke pesantren lagi, terakhir pendaftar sudah dengan perbandingan 1:14. Edan, udah kayak masuk PTN saja. Prestasi sudah makin banyak sampai piala-piala tidak tertampung lagi di lemari pajang. bukan kabupaten, provinsi atau nasional. Tapi tingkat internasional juga ada. Dan alumni pesantren saya makin keren dan kece-kece. Bahkan ketua BEM IPB dulu teman sekamar saya waktu pesantren dulu. Haha…, menjadi pelopor tentu menjadi teladan.

Allah menempatkan kita bukan di mana kita inginkan. Tapi di mana kita dibutuhkan.

Alumni SMAIT As Syifa Boarding School Subang
Angkatan 2 Recover

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *